Praktik Terbaik (Best Practice) Penilaian Tarif Sewa Properti
Oleh: Muhamad Nahdi
Akhir-akhir ini, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara (PKN) semakin sering mendapatkan ‘pesanan’ berupa penilaian terhadap sewa Barang Milik Negara (BMN). Peraturan mengenai penetapan tarif sewa BMN sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 96 tahun 2007, namun formula penetapan tarif sewa tersebut dirasakan masih belum sesuai dengan kondisi pasar sewa yang sesungguhnya. Hal ini dibuktikan sendiri oleh Penulis yang menemukan bahwa dari beberapa pelaksanaan penilaian atas tarif sewa yang dilaksanakan oleh Direktorat PKN ditemukan tarif sewa berdasarkan formula PMK 96 tersebut tidak sesuai dengan tarif sewa pasar yang berlaku.
Berdasarkan kenyataan ini, maka Penulis mencoba untuk menelusuri praktik terbaik (best practice) dalam menetapkan tarif sewa atas suatu properti sehingga bisa dijadikan sebagai acuan (benchmark) bagi Penilai di Indonesia, khususnya di Ditjen Kekayaan Negara, dalam melakukan penilaian atas tarif sewa properti.
Formula Tarif Sewa berdasarkan PMK nomor 96 tahun 2007
Sebagaimana telah diketahui bahwa untuk menentukan tarif sewa BMN, PMK nomor 96 tahun 2007 menggunakan formula sebagai berikut:
Objek Penilaian Sewa Formula Tarif Sewa
Tanah Kosong 3,33 % X Luas Tanah X Nilai Tanah
Tanah dan Bangunan (Sewa Tanah Kosong) + (6,64% X Luas Bangunan X Harga Satuan Bangunan dalam keadaan baru X Nilai Sisa Bangunan)
Prasarana Bangunan 6,64% X Harga Prasarana Bangunan dalam keadaan baru X Nilai Sisa Prasarana Bangunan
Kelemahan utama dari formula tersebut adalah ditetapkannya tingkat kapitalisasi sewa dengan besaran yang sudah pasti dan seragam untuk setiap situasi, kondisi, dan daerah yaitu: 3,33% untuk sewa tanah dan 6,64% untuk sewa bangunan atau prasarana bangunan. Padahal, dalam teori penilaian yang sudah dibuktikan dengan praktik yang berlaku dimanapun, besaran tingkat kapitalisasi yang sama tidak bisa diaplikasikan untuk situasi, kondisi, dan daerah yang berbeda-beda.
Dengan menggunakan formula tersebut, Penulis menemukan kenyataan di lapangan bahwa hasil yang didapatkan dengan formula ini seringkali tidak ‘pas’ dengan selera pasar (umumnya lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang berlaku di pasar). Untuk itu, formula seperti yang tercantum dalam PMK nomor 96 tersebut perlu ditinjau kembali mengingat rendahnya tingkat keandalan nilai yang dihasilkan oleh formula tersebut.
Dalam pandangan Penulis, penetapan tarif sewa BMN yang tidak sesuai dengan tarif yang berlaku di pasar akan merugikan negara. Sumber kerugian negara tersebut berasal dari dua hal yaitu:
1. Jika tarif sewa ditetapkan terlalu rendah, maka Negara berpotensi kehilangan penerimaan negara (bukan pajak) yang disebabkan oleh terlalu rendahnya penetapan tarif sewa.
2. JIka tarif sewa ditetapkan terlalu tinggi, maka Negara berpotensi kehilangan penerimaan negara (bukan pajak) yang disebabkan oleh tidak adanya pihak ketiga yang mau menyewa BMN mengingat tarif sewa yang terlalu mahal.
Pandangan ini juga dikemukakan oleh Finkel (2009), yang antara lain menyatakan bahwa penetapan harga sewa yang terlalu tinggi atas suatu properti akan menghabiskan waktu dan uang dari pemilik properti untuk membayar iklan. Salah satu indikasi dari penetapan tarif sewa yang terlalu tinggi adalah sudah berapa lama properti tersebut ditawarkan di pasar? Semakin lama properti tersebut ‘beredar’ (baca: ditawarkan) di pasar maka dapat diduga properti tersebut ditawarkan terlalu mahal.
Praktik Terbaik
Untuk menelusuri adanya praktik terbaik tentang penilaian tarif sewa, Penulis melakukan studi pustaka yaitu dengan menelaah tulisan maupun artikel yang terkait dengan penilaian tarif sewa. Berdasarkan hasil telaahan Penulis, ditemukan bahwa pendekatan penilaian yang hampir selalu digunakan terhadap penilaian tarif sewa adalah pendekatan data pasar. Finkel (2009) dalam artikelnya yang berjudul “How to Determine Rent for Your Lease Options” menyatakan bahwa:
“Real estate is valued by what other people (known as the market) are willing to pay in order to use of the property. This is the market rent value of the property”
Dari pernyataan tersebut tampak jelas bahwa Pendekatan Data Pasar menjadi pendekatan yang utama dalam melakukan penilaian terhadap tarif sewa. Sebagai tambahan, dalam artikel lain yang dikutip dari www.usrentallisting.com disebutkan :
“The question you may be asking yourself is, "How much can I rent my house for?" This is an excellent question. In fact, before you decide to lease your property, you should find out what the fair market rent value is”
Pernyataan ini semakin menegaskan penggunaan Pendekatan Data Pasar dalam menentukan tarif sewa atas suatu properti. Jika kita telusuri lagi tulisan-tulisan maupun artikel-artikel terkait tentang penilaian tarif sewa maka dapat dipastikan bahwa penggunaan Pendekatan Data Pasar adalah hal yang sangat lazim digunakan untuk menilai tarif sewa.
Satu hal yang perlu Penulis tegaskan adalah tarif sewa yang dihasilkan dengan Pendekatan Data Pasar bukanlah suatu nilai tunggal melainkan berupa ‘range’ suatu nilai. Tidak ada ‘nilai tunggal’ yang dianggap benar dan mewakili nilai pasar, yang ada adalah ‘nilai wajar’ sehingga sepanjang hasil dari penilaian masih berada di dalam ‘range’ nilai yang wajar maka hal itu bisa diterima di dunia penilaian. Namun, bila suatu nilai sudah berada di luar ‘range’ nilai yang wajar maka hal tersebut bisa dipertanyakan ‘kewajarannya’. Hal ini juga ditegaskan oleh Finkel (2009) bahwa yang paling memungkinkan adalah mencari ‘range’ nilai wajar. Demikian pula dalam artikel yang berjudul “How to Determine Rental Rates for Your Deals” yang dikutip dari http://articles.learntoberich.biz menyatakan bahwa:
“rents are not fixed numbers even for the same house... So, when you do your research to determine what rent should be, realize it is going to be a range of numbers and not a single number”
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik terbaik untuk menentukan tarif sewa adalah dengan menggunakan Pendekatan Data Pasar. Dengan menggunakan pendekatan ini maka dapat diteliti lebih dalam lagi mengenai penentuan tingkat kapitalisasi dengan menggunakan salah satu formula dalam teori penilaian yang sudah baku yaitu:
Net Operating Income
Value =
Capitalisation Rate
Dari persamaan di atas, bila kita asumsikan ‘Net Operating Income’ sebagai penghasilan pemilik properti dari sewa dan ‘Value’ sebagai nilai pasar properti, maka kita bisa menemukan besaran dari tingkat kapitalisasi (Capitalisation Rate) sewa yaitu:
Net Operating Income
Cap Rate =
Value
Dengan demikian, tingkat kapitalisasi sewa yang berlaku di suatu daerah tergantung pada dua faktor yaitu besarnya tarif sewa pasar dan nilai pasar properti di daerah tersebut. Berdasarkan persamaan tersebut di atas dapat dipahami bahwa tingkat kapitalisasi sewa untuk setiap situasi, kondisi, dan daerah akan berbeda-beda dan tidak dapat diseragamkan seperti halnya formula dalam PMK nomor 96.
Dengan menggunakan pendekatan data pasar sebagai pendekatan utama, maka untuk dapat menentukan tarif sewa yang tepat atas suatu properti sudah barang tentu perlu dilakukan survei / penelitian tarif sewa yang berlaku di sekitar properti tersebut (disebut juga sebagai Rent Survey/ Research) dengan tujuan untuk mengetahui tarif sewa yang berlaku di daerah tersebut sehingga tarif sewa pasar dapat diketahui. Setelah mengetahui tarif sewa pasar, maka bisa ditentukan tarif sewa yang ‘pas’ untuk properti kita dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian (adjustments) yang sesuai dengan situasi dan kondisi properti yang kita miliki. Hal ini mirip dengan penilaian terhadap tanah dengan cara mencari data pembanding di pasar untuk kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi tanah yang dinilai.
Survei Sewa Pasar
Untuk menghasilkan data pembanding tarif sewa pasar yang dapat diandalkan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Penilai. Tips berikut ini Penulis kompilasikan dari beberapa tulisan / artikel yang berhasil didapatkan yaitu dari http://www.creonline.com/ dengan judul “How to Determine Rent for Your Lease Options” oleh David Finkel, http://articles.learntoberich.biz dengan judul “How to Determine Rental Rates for Your Deals”, www.usrentallisting.com dengan judul “How Do I Determine the Fair Market Rent for My House”, dan http://www.apartment-rental-listing-guide.info dengan judul “How to determine the optimal market rental rate?” :
1. Lakukan pencarian data tarif sewa pasar melalui internet. Saat ini internet sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia penilaian karena menjadi sumber data yang masif dan cepat bagi Penilai dalam melakukan survei data pasar. Namun, sudah pasti bahwa tidak semua data yang ditemukan di internet dapat diandalkan. Penilai harus bisa menentukan dan memilih data mana yang dapat diandalkan, situs-situs apa saja yang bisa dipercaya, dan forum-forum apa saja yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber data.
2. Lakukan pencarian data tarif sewa pasar melalui media cetak dan agen properti. Beberapa media cetak seperti “Properti Indonesia” mempublikasikan nilai sewa ruangan di beberapa gedung perkantoran di Jakarta dalam tiap terbitannya.
3. Lakukan survei ke lapangan dan tanyakan kepada orang atau penghuni lain di sekitar properti yang akan dinilai. Pertanyaan sebaiknya disusun sedemikian rupa sehingga tidak bersifat ‘ofensif’. Pertanyaan seperti: “Berapa harga sewa setahun yang Saudara bayar untuk menyewa kios ini?” akan terdengar ‘ofensif’ bagi responden. Pertanyaan tersebut bisa diganti dengan: “Apakah Saudara tahu berapa sih orang lain bayar tarif sewa kios per bulannya di sini?” sehingga tidak terlalu ‘ofensif’ bagi responden.
4. Pilih responden yang tepat. Jika penilai mendapatkan jawaban dari orang yang tidak dalam kapasitasnya untuk menjawab maka tingkat keandalannya patut diragukan. Contoh responden yang keandalannya diragukan: anak dari penyewa (apalagi kalau yang sekolahnya masih tingkat SMA ke bawah), pegawai/pelayan dari penyewa kios/toko, atau pemilik warung di sekitar objek penilaian sewa.
5. Pilah lagi jawaban yang didapatkan dari hasil survey lapangan. Jawaban berikut ini termasuk yang kurang dapat diandalkan: “Wah, nggak tahu ya...kaya’nya sih sebulan 5 juta sewanya”, dan jawaban berikut bisa masuk kategori diandalkan: “Kalau saya sih bayar sewa sebulan 3 juta, pak Amir yang di sebelah saya 4 juta karena lebih gede kiosnya”.
6. “Don’t be afraid to use your acting skills, when you are doing your research”. Kalimat tersebut Penulis kutipkan dari artikel di www.usrentallisting.com dengan judul “How Do I Determine the Fair Market Rent for My House”. Artinya lebih kurang adalah, “Jangan ragu untuk menggunakan keahlian aktingmu ketika melakukan survei lapangan”. Hal yang lebih kurang sama dengan kalimat tersebut di atas juga Penulis temukan di artikel lain di http://www.apartment-rental-listing-guide.info dengan judul “How to determine the optimal market rental rate?” yang menyatakan bahwa salah satu cara survei sewa adalah dengan:”Become a ‘pretend’ renter”.
7. Luangkan waktu yang cukup untuk melakukan survey lapangan sehingga data sewa pasar yang didapatkan benar-benar mewakili kondisi pasar.
8. Mengenai jumlah data pembanding untuk penilaian tarif sewa, praktik terbaik yang Penulis dapatkan adalah sebagai berikut:
a. Finkel (2009) menyatakan bahwa salah satu kesalahan yang paling umum dalam melakukan survei lapangan adalah dengan mendapatkan jumlah data pembanding ‘kurang dari 5 (lima)’. Artinya, menurut Finkel (2009) jumlah data pembanding itu minimal 5 (lima).
b. Dalam artikel di http://www.apartment-rental-listing-guide.info dengan judul “How to determine the optimal market rental rate?” disebutkan bahwa Surveyor disarankan untuk mengunjungi 10 – 15 tempat/kios/unit di apartemen di sekitar objek penilaian.
Nah, bagaimana dengan di Indonesia? Penulis berpendapat bahwa semakin banyak jumlah data pembanding untuk penilaian tarif sewa maka semakin bagus juga untuk Penilai. Namun, mengingat situasi dan kondisi pasar sewa di Indonesia yang tidak seterbuka pasar di negara-negara yang sudah maju, menurut hemat Penulis jumlah pembanding yang ideal di Indonesia minimal 3 (tiga) buah. Kalau bisa lebih dari 3 (tiga) akan lebih baik. Selain itu, kendala yang biasa dihadapi oleh Penilai, khususnya di DJKN, adalah terbatasnya waktu yang diberikan untuk melakukan penetapan tarif sewa sehingga survei lapangan tidak bisa dilakukan secara optimal.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan formula tarif sewa untuk BMN sesuai dengan PMK nomor 96/2007 akan terus menerus berhadapan langsung dengan metode penilaian tarif sewa yang sesuai dengan praktik terbaik yang berlaku umum yaitu dengan menggunakan pendekatan data pasar. Perbedaan diantara keduanya ada pada penetapan tingkat kapitalisasi sewa yang pada PMK 96 sudah diseragamkan untuk tiap situasi, kondisi, dan lokasi, sedangkan dengan pendekatan data pasar akan ditemukan tingkat kapitalisasi yang berbeda-beda untuk setiap situasi, kondisi, dan lokasi. Penulis sendiri berpendapat bahwa Pendekatan Data Pasar adalah cara yang terbaik untuk menentukan tarif sewa atas suatu properti karena lebih mencerminkan kekuatan permintaan (demand) dan penawaran (supply) di pasar.
By Muhamad Nahdi
February 2009
================= &&& ====================
Referensi:
• Finkel, David. 2009. “How to Determine Rent for Your Lease Options”. http://www.creonline.com.
• “How to Determine Rental Rates for Your Deals”. http://articles.learntoberich.biz
• “How Do I Determine the Fair Market Rent for My House”. www.usrentallisting.com
• “How to determine the optimal market rental rate? .http://www.apartment-rental-listing-guide.info
Garden of Thoughts
Kewajiban Manusia adalah untuk Berusaha, Tapi hanya Tuhan-lah yang Menentukan Hasilnya.
25 Februari, 2009
22 Desember, 2008
Tugas ke Eropa II: Copenhagen
Masih seri lanjutan dinas ke negara-negara Scandinavia nih....
Setelah hari-hari yang sangat melelahkan di London, tim kami berangkat menuju kota berikutnya yaitu Kopenhagen (Denmark). Kami berangkat dari London pada tanggal 22 November 2008 melalui bandara Heathrow sekitar jam 2 siang dengan menggunakan maskapai SAS (Scandinavian Airline System).
Begitu terdengar pengumuman bahwa pesawat akan mendarat sekitar 10 menit lagi dan "at the moment, there's a little snow rain...." , kami melihat ke luar pesawat...yang terlihat adalah hamparan putih dan atap rumah-rumah yang ditutupi es serta pohon-pohon cemara yang juga ditutupi es. Wah, langsung kebayang deh betapa dinginnya suasana di Kopenhagen. Tapi, ada senengnya juga karena harapan akan bertemu dengan salju dan hujan salju yang selama ini hanya terbayang-bayang akhirnya akan terwujud...
Dan benar saja, begitu kami mendarat di Kopenhagen dan melangkah ke luar bandara untuk menuju mobil dari KBRI Kopenhagen yang menjemput kami...BRRR....duuiiinggiin banget !! Suhu di luar ruangan saat itu adalah minus 5 derajat celsius. Bahkan ketika saya berada di dalam mobil (yang pake heater), masih terasa dinginnya udara luar selama beberapa saat. Tapi, itulah momen yang juga tidak akan saya lupakan karena inilah pertama kalinya saya ngelihat salju dan gundukan salju di pinggir jalan.
Udara dingin yang menusuk-nusuk itu ternyata bertahan terus selama kami berada di Kopenhagen. Jaket tebal, syal, sarung tangan, dan longjohn jadi pakaian wajib kami kalau kami mau ke luar ruangan. Halaman gedung KBRI udah ketutup ama es semua deh...pokoknya jadi males banget kalau mau ke luar ruangan. Satu hal yang paling saya tunggu-tunggu waktu di Kopenhagen adalah hujan salju, rugi dong kalau cuma ngelihat saljunya tapi gak pernah ngerasain hujan salju...
Harapan ini baru terwujud pada hari kedua kami di Kopenhagen, ketika itu seorang teman yang sedang bekerja tiba-tiba berteriak "hujan salju...di luar ada hujan salju...". Kami berlari ke luar ruangan, udah gak peduli lagi ama dingin dan kamipun berfoto-foto di bawah hujan salju sampai-sampai salah seorang staf KBRI Kopenhagen nyeletuk "kayak anak kecil aja...." he he...biarin ah, jarang-jarang kan ketemu hujan salju.
Kalau kotanya sih Kopenhagen itu klasik banget, banyak bangunan-bangunan tua yang dipertahankan ama pemerintah. Yang jadi ikonnya sih udah pasti si patung 'little mermaid' sebagai tanda perhormatan pada H.C. Andersen. Berhubung waktu yang terbatas, ya kita gak bisa jalan-jalan terlalu lama...
Oke, itu Kopenhagen ya. Next Destination: HELSINKI...
26 November, 2008
Tugas ke Eropa I : London
Pada tanggal 17 November - 8 Desember 2008, saya bersama rekan-rekan dari DJKN dan Departemen Luar Negeri melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, tepatnya ke Eropa yaitu London (Inggris), Kopenhagen (Denmark), Helsinki (Finlandia), Stockholm (Swedia), Oslo (Norwegia), dan Hamburg (Jerman).
Dalam pikiran pembaca blog ini mungkin terpikirkan "Wuah...asik banget tuh, bisa jalan-jalan ke Eropa...". Sekali lagi saya tegaskan ya, biar pada nggak salah paham nih, bahwa kami melakukan Perjalanan Dinas....bukan rekreasi, jadi turis, seminar, kursus, sekolah, apalagi cuma studi banding. Sebagian besar waktu kami (yah, kira-kira 95% lah) tersita untuk bekerja di dalam ruangan. Jadi, kalau saya ditanya nih: "Kota London itu seperti apa ya?", jawabannya adalah "setahu saya, London itu cuma KBRI doang"...he he...gitu lah kira-kira.
Waktu di London, kita bekerja sampai jam 12 malam (rata-rata) dan bahkan sempat "nginap" di ruang kerja kita di KBRI London. Bener-bener deh, capenya minta ampun. Walaupun demikian, pada malam terakhir kira-kira jam 8 malam kita sempat jalan-jalan ke Oxford Street di London cari oleh-oleh. Suhunya kira-kira 0 derajat celcius...ya, bener-bener 'nol' derajat. Dingin banget deh pokoknya...
Sebelum ke bandara (untuk menuju Kopenhagen), saya sempat foto-foto juga di depan Big Ben. Cuma sempat keliling London di hari terakhir doang, itupun cuma sekitar 30 menit dan langsung ke Bandara Heathrow untuk menaiki Scandinavian Air menuju ke Kopenhagen, tempat dimana pertama kalinya saya merasakan dan melihat hujan salju....tunggu aja ceritanya di Kopenhagen ya....
Dalam pikiran pembaca blog ini mungkin terpikirkan "Wuah...asik banget tuh, bisa jalan-jalan ke Eropa...". Sekali lagi saya tegaskan ya, biar pada nggak salah paham nih, bahwa kami melakukan Perjalanan Dinas....bukan rekreasi, jadi turis, seminar, kursus, sekolah, apalagi cuma studi banding. Sebagian besar waktu kami (yah, kira-kira 95% lah) tersita untuk bekerja di dalam ruangan. Jadi, kalau saya ditanya nih: "Kota London itu seperti apa ya?", jawabannya adalah "setahu saya, London itu cuma KBRI doang"...he he...gitu lah kira-kira.
Waktu di London, kita bekerja sampai jam 12 malam (rata-rata) dan bahkan sempat "nginap" di ruang kerja kita di KBRI London. Bener-bener deh, capenya minta ampun. Walaupun demikian, pada malam terakhir kira-kira jam 8 malam kita sempat jalan-jalan ke Oxford Street di London cari oleh-oleh. Suhunya kira-kira 0 derajat celcius...ya, bener-bener 'nol' derajat. Dingin banget deh pokoknya...
Sebelum ke bandara (untuk menuju Kopenhagen), saya sempat foto-foto juga di depan Big Ben. Cuma sempat keliling London di hari terakhir doang, itupun cuma sekitar 30 menit dan langsung ke Bandara Heathrow untuk menaiki Scandinavian Air menuju ke Kopenhagen, tempat dimana pertama kalinya saya merasakan dan melihat hujan salju....tunggu aja ceritanya di Kopenhagen ya....
03 November, 2008
Artikel: Penilaian (Valuation) vs Perkiraan (Guesstimate)
PENILAIAN (Valuation) vs PERKIRAAN (Guesstimate)
Oleh : Muhamad Nahdi
“He’ll be out between four and eight weeks…but six weeks would be a good guesstimate” (David Mulder, quoted from The X-Files)
Pagi itu, di suasana kantor yang masih belum bersemangat, terdengar dering bunyi HP milik Bos Roh.
Bos Roh : “Halo Bos Bas..! Gimana kabar nih?”
Bos Bas : “Halo juga, alhamdulillah baek…mau nanya nih Bos Roh”
Bos Roh : “Iya, nanya apaan?”
Bos Bas : “Gini, saya lagi dapat tugas menilai nih”
Bos Roh : “terus?”
Bos Bas : “data pembandingnya dapat di pinggir jalan, sementara objek penilaiannya agak masuk ke dalam…yah, sekitar 1 km-an lah”
Bos Roh : “terus?”
Bos Bas : “nah, saya bingung nih mau adjustment-nya”
Bos Roh : “lah, bingung gimana?”
Bos Bas : “maksudnya mau berapa persen turunnya kalau di-adjust? Ada yang bilang 20%, tapi penilai lain bilang 7 %...yang bener yang mana bos?”
Bos Roh : “Yah, Bos Bas….gitu aja kok repot…make ‘feeling’ dong. Kira-kira menurut ente pasnya berapa gitu…”
Bos Bas : “gak bisa gitu dong Bos Roh, musti ada dasarnya !”
Bos Roh : “Masa gak bisa sih, Bos Bas kan udah hafal daerah itu…pake insting aja deh…lagian disitulah letak independennya seorang Penilai…”
Bos Bas : “Ya gak bisa lah, emangnya Penilaian itu ilmunya Mama Lauren….independensi dari mana Bos? Yang ada juga malah bias kemana-mana….”
* * * *
Dari ilustrasi tersebut diatas, dapat diambil beberapa pelajaran terkait dengan Penilaian. Pertama, Penilaian itu ternyata bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak unsur subyektifitas dari Penilai yang dapat mempengaruhi sehingga bukan tidak mungkin opini nilai yang dikeluarkan oleh Penilai menjadi bias. Kedua, Penilaian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang empiris. Oleh karenanya, sebagai syarat dari suatu ilmu pengetahuan, Ilmu Penilaian harus memiliki teori dan metode ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Berangkat dari pemikiran inilah, Penulis tergelitik untuk membahas lebih jauh mengenai Penilaian (valuation) dan Perkiraan (guesstimate). Sebenarnya Penulis belum menemukan istilah dalam Bahasa Indonesia yang tepat untuk pengganti kata “Guesstimate”, namun untuk mempermudah pemahaman maka Penulis menggunakan istilah “Perkiraan” sebagai pengganti istilah “Guesstimate” dengan pertimbangan untuk membedakan dengan istilah “Prakiraan” dan “Peramalan”. Beberapa pertanyaan yang hendak coba dijawab dalam tulisan ini adalah: Benarkah terdapat perbedaan yang signifikan dan mendasar diantara keduanya? Bagaimana caranya agar penilaian yang dilakukan oleh Penilai tidak jatuh ke dalam kategori “guesstimate”?
* * * *
Sebagai langkah awal, Penulis akan uraikan terlebih dahulu definisi penilaian dan perkiraan menurut referensi. Menurut kamus Merriam-Webster Online (www.merriam-webster.com) , pengertian penilaian (valuation) adalah:
“the estimated or determined market value of a thing”( perkiraan nilai pasar dari sesuatu).
Sedangkan pengertian perkiraan (guesstimate) menurut kamus yang sama adalah
“an estimate usually made without adequate information” (estimasi yang biasanya dibuat tidak berdasarkan informasi yang cukup).
Dari definisi yang lain (www.harrodsestates.com) ditemukan bahwa Penilaian adalah:
“an assessment of a property’s market value carried out by a recognised professional on behalf of a lender and/or the buyer, backed up with comparable evidence from recent sales of similar properties in similar locations.” (perkiraan nilai pasar dari suatu properti yang dilaksanakan oleh profesional yang diakui atas nama peminjam atau pembeli, yang didukung dengan bukti-bukti pembanding yang cukup dari properti sejenis di lokasi yang sejenis)
Dan Guesstimate menurut www.wordnet.princeton.edu adalah
“an estimate that combines reasoning with guessing” (Guesstimate adalah perkiraan yang menggabungkan antara nalar dengan menebak-nebak).
Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa “Penilaian” harus didukung dengan bukti-bukti data yang cukup (adequate) sehingga dapat dipertanggungjawabkan kewajarannya. Sementara itu, “Perkiraan” banyak mengandung unsur tebakan dan tidak didukung dengan bukti-bukti data yang cukup sehingga kewajarannya perlu dipertanyakan. Dengan demikian, pertanyaan mengenai apakah terdapat perbedaan yang signifikan dan mendasar mengenai Penilaian (Valuation) dan Perkiraan (Guesstimate) sudah terjawab yaitu: Jelas ada !! Tanpa didukung dengan data-data yang cukup dan metoda yang ilmiah maka suatu Penilaian (Valuation) akan turun derajatnya menjadi sekadar Perkiraan (Guesstimate).
* * * *
Selanjutnya pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah: Bagaimana caranya agar penilaian yang dilakukan oleh Penilai tidak jatuh ke dalam kategori “guesstimate”? Syarat yang harus dipenuhi agar penilaian tetap bernilai ilmiah tinggi adalah setiap penilaian harus didukung dengan bukti-bukti data dan perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan kewajarannya secara profesional. Penilai tidak bisa terus menerus berlindung dibalik isu ‘subjektifitas’ atau ‘independensi’ hanya karena penilaian yang dilakukannya tidak memiliki dasar-dasar perhitungan dan bukti-bukti yang kuat.
Dalam dunia Penilaian internasional, sudah ada standar penilaian yang dikenal dengan nama International Valuation Standard (IVS). Di Indonesia sendiri sudah ada Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang merupakan pegangan bagi penilai yang akan melakukan penilaian di Indonesia sehingga tetap sesuai dengan metode-metode penilaian yang telah ditetapkan. Namun, baik IVS maupun SPI hanya mengatur sebatas tatacara ataupun metode penilaiannya dan tidak mengatur lebih lanjut secara teknis mengenai penilaian.
Salah satu praktik internasional yang selama ini diadopsi untuk menjaga agar tingkat penilaian tidak jatuh kepada tingkat “guesstimate” adalah dengan membuat model ekonometrika yang didasarkan pada data-data yang berhasil dikumpulkan oleh Penilai. Adapun model penilaian yang boleh digunakan oleh Penilai hanyalah model penilaian yang sudah teruji dan secara ekonometrika terbukti modelnya valid dan dapat digunakan. Tanpa didukung dengan adanya model penilaian, seringkali Penilai di dunia internasional tidak berani mengeluarkan opini nilai karena model penilaian merupakan representasi dari kondisi pasar. Sebagai bukti, dapat Penulis kutipkan pendapat Marcia Bowden dari Australian Property Institute yang mengemuka dalam Kongres Penilai Real Estate Pan Pacific ke 24 di Korea tahun 2008, terkait dengan penilaian Bangunan Ramah Lingkungan (Green Building) sebagai berikut :
“While there is support for the theories in “valuing green”, the current Australian market factors make the theories hard to prove…As the “green” buildings in Australia are only a few years old the issue of tenant retention is yet to come to the fore – it is likely to be some 5 plus years before this theory will be tested.”
Dengan kata lain, Marcia Bowden hingga saat ini belum bisa menilai dan membuktikan apakah bangunan ramah lingkungan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada bangunan konvensional karena belum ada data yang cukup untuk membuat model penilaian dan melakukan penelitian terkait dengan bangunan ramah lingkungan. Praktik seperti ini sudah menjadi hal yang sangat dianjurkan dalam melakukan penilaian di dunia internasional.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk menjaga agar Penilaian tetap dapat dipertanggungjawabkan kewajarannya adalah dengan melakukan standardisasi dalam hal penyesuaian nilai tanah. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengurangi terjadinya “guesstimate” yang dapat menimbulkan bias terhadap opini nilai yang dikeluarkan oleh seorang Penilai, seperti halnya yang terjadi dalam percakapan singkat di prolog tulisan ini. Sebagai contoh: dapat dibuatkan tabel penyesuaian yang diakibatkan oleh perbedaan lokasi objek penilaian dan objek pembanding dilihat dari jaraknya dengan jalan raya sebagai berikut :
Objek Penilaian dari Jalan Raya
Objek Pembanding 0 – 500 m >500 – 1000 m >1000 m
dari jalan raya
0 – 500 m dari jalan raya 0 s.d. - 5 % -5 s.d. -10 % -10 s.d. -15%
500 – 1000 m dari jalan raya 0 s.d. + 5% 0 s.d. - 5 % -5 s.d. -10 %
> 1000 m dari jalan raya + 5% s.d. +10% 0 s.d. +5% 0 s.d. - 5 %
Dengan adanya tabel penyesuaian seperti di atas maka bias-bias yang diakibatkan oleh penerapan angka penyesuaian yang berlebihan dapat dihindari. Selain itu, independensi dan judgment Penilai tetap diperhatikan dengan memberikan batasan (range) penyesuaian sehingga Penilai tetap memiliki kebebasan untuk menentukan angka penyesuaian yang paling tepat.
Untuk bisa menentukan tingkat penyesuaian dalam tabel tersebut diperlukan penelitian dan database penilaian yang baik sehingga validitas tabel tersebut dapat diuji secara ilmiah. Contoh tabel penyesuaian di atas juga harus disesuaikan dengan daerah masing-masing sehingga untuk tiap-tiap kota memiliki angka penyesuaian yang mungkin berbeda-beda.
* * * *
Bagaimana dengan penilaian di Indonesia? Penulis belum melakukan penelitian lebih lanjut mengenai apakah penilai di Indonesia menggunakan model penilaian atau tidak dalam melakukan penilaiannya. Namun, berdasarkan pengamatan penulis yang sangat terbatas, untuk lingkup DJKN hingga saat ini belum ada penilaian yang menggunakan model ekonometrika dalam penilaian properti. Demikian pula mengenai tabel penyesuaian nilai tanah yang hingga saat ini di DJKN masih belum terwujud. Hal ini, menurut hemat Penulis, lebih disebabkan oleh belum adanya database penilaian sebagai bahan dasar untuk melakukan penelitian sekaligus membuat model penilaian dan tabel penyesuaian dimaksud. Untuk itu, database penilaian harus diwujudkan terlebih dahulu apabila penilaian di DJKN tidak ingin sekadar disebut sebagai “guesstimate” alias tebak-tebakan.
========= OOO ==========
Referensi :
Bowden, Marcia. 2008. “Green Buildings”. The 24th Pan Pacific Congress of Real Estate Appraisers, Valuers and Counselors.
http:// www.merriam-webster.com
http:// www.harrodsestates.com
http:// www.wordnet.princeton.edu
By Muhamad Nahdi
October 2008
Oleh : Muhamad Nahdi
“He’ll be out between four and eight weeks…but six weeks would be a good guesstimate” (David Mulder, quoted from The X-Files)
Pagi itu, di suasana kantor yang masih belum bersemangat, terdengar dering bunyi HP milik Bos Roh.
Bos Roh : “Halo Bos Bas..! Gimana kabar nih?”
Bos Bas : “Halo juga, alhamdulillah baek…mau nanya nih Bos Roh”
Bos Roh : “Iya, nanya apaan?”
Bos Bas : “Gini, saya lagi dapat tugas menilai nih”
Bos Roh : “terus?”
Bos Bas : “data pembandingnya dapat di pinggir jalan, sementara objek penilaiannya agak masuk ke dalam…yah, sekitar 1 km-an lah”
Bos Roh : “terus?”
Bos Bas : “nah, saya bingung nih mau adjustment-nya”
Bos Roh : “lah, bingung gimana?”
Bos Bas : “maksudnya mau berapa persen turunnya kalau di-adjust? Ada yang bilang 20%, tapi penilai lain bilang 7 %...yang bener yang mana bos?”
Bos Roh : “Yah, Bos Bas….gitu aja kok repot…make ‘feeling’ dong. Kira-kira menurut ente pasnya berapa gitu…”
Bos Bas : “gak bisa gitu dong Bos Roh, musti ada dasarnya !”
Bos Roh : “Masa gak bisa sih, Bos Bas kan udah hafal daerah itu…pake insting aja deh…lagian disitulah letak independennya seorang Penilai…”
Bos Bas : “Ya gak bisa lah, emangnya Penilaian itu ilmunya Mama Lauren….independensi dari mana Bos? Yang ada juga malah bias kemana-mana….”
* * * *
Dari ilustrasi tersebut diatas, dapat diambil beberapa pelajaran terkait dengan Penilaian. Pertama, Penilaian itu ternyata bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak unsur subyektifitas dari Penilai yang dapat mempengaruhi sehingga bukan tidak mungkin opini nilai yang dikeluarkan oleh Penilai menjadi bias. Kedua, Penilaian adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang empiris. Oleh karenanya, sebagai syarat dari suatu ilmu pengetahuan, Ilmu Penilaian harus memiliki teori dan metode ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Berangkat dari pemikiran inilah, Penulis tergelitik untuk membahas lebih jauh mengenai Penilaian (valuation) dan Perkiraan (guesstimate). Sebenarnya Penulis belum menemukan istilah dalam Bahasa Indonesia yang tepat untuk pengganti kata “Guesstimate”, namun untuk mempermudah pemahaman maka Penulis menggunakan istilah “Perkiraan” sebagai pengganti istilah “Guesstimate” dengan pertimbangan untuk membedakan dengan istilah “Prakiraan” dan “Peramalan”. Beberapa pertanyaan yang hendak coba dijawab dalam tulisan ini adalah: Benarkah terdapat perbedaan yang signifikan dan mendasar diantara keduanya? Bagaimana caranya agar penilaian yang dilakukan oleh Penilai tidak jatuh ke dalam kategori “guesstimate”?
* * * *
Sebagai langkah awal, Penulis akan uraikan terlebih dahulu definisi penilaian dan perkiraan menurut referensi. Menurut kamus Merriam-Webster Online (www.merriam-webster.com) , pengertian penilaian (valuation) adalah:
“the estimated or determined market value of a thing”( perkiraan nilai pasar dari sesuatu).
Sedangkan pengertian perkiraan (guesstimate) menurut kamus yang sama adalah
“an estimate usually made without adequate information” (estimasi yang biasanya dibuat tidak berdasarkan informasi yang cukup).
Dari definisi yang lain (www.harrodsestates.com) ditemukan bahwa Penilaian adalah:
“an assessment of a property’s market value carried out by a recognised professional on behalf of a lender and/or the buyer, backed up with comparable evidence from recent sales of similar properties in similar locations.” (perkiraan nilai pasar dari suatu properti yang dilaksanakan oleh profesional yang diakui atas nama peminjam atau pembeli, yang didukung dengan bukti-bukti pembanding yang cukup dari properti sejenis di lokasi yang sejenis)
Dan Guesstimate menurut www.wordnet.princeton.edu adalah
“an estimate that combines reasoning with guessing” (Guesstimate adalah perkiraan yang menggabungkan antara nalar dengan menebak-nebak).
Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa “Penilaian” harus didukung dengan bukti-bukti data yang cukup (adequate) sehingga dapat dipertanggungjawabkan kewajarannya. Sementara itu, “Perkiraan” banyak mengandung unsur tebakan dan tidak didukung dengan bukti-bukti data yang cukup sehingga kewajarannya perlu dipertanyakan. Dengan demikian, pertanyaan mengenai apakah terdapat perbedaan yang signifikan dan mendasar mengenai Penilaian (Valuation) dan Perkiraan (Guesstimate) sudah terjawab yaitu: Jelas ada !! Tanpa didukung dengan data-data yang cukup dan metoda yang ilmiah maka suatu Penilaian (Valuation) akan turun derajatnya menjadi sekadar Perkiraan (Guesstimate).
* * * *
Selanjutnya pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah: Bagaimana caranya agar penilaian yang dilakukan oleh Penilai tidak jatuh ke dalam kategori “guesstimate”? Syarat yang harus dipenuhi agar penilaian tetap bernilai ilmiah tinggi adalah setiap penilaian harus didukung dengan bukti-bukti data dan perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan kewajarannya secara profesional. Penilai tidak bisa terus menerus berlindung dibalik isu ‘subjektifitas’ atau ‘independensi’ hanya karena penilaian yang dilakukannya tidak memiliki dasar-dasar perhitungan dan bukti-bukti yang kuat.
Dalam dunia Penilaian internasional, sudah ada standar penilaian yang dikenal dengan nama International Valuation Standard (IVS). Di Indonesia sendiri sudah ada Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang merupakan pegangan bagi penilai yang akan melakukan penilaian di Indonesia sehingga tetap sesuai dengan metode-metode penilaian yang telah ditetapkan. Namun, baik IVS maupun SPI hanya mengatur sebatas tatacara ataupun metode penilaiannya dan tidak mengatur lebih lanjut secara teknis mengenai penilaian.
Salah satu praktik internasional yang selama ini diadopsi untuk menjaga agar tingkat penilaian tidak jatuh kepada tingkat “guesstimate” adalah dengan membuat model ekonometrika yang didasarkan pada data-data yang berhasil dikumpulkan oleh Penilai. Adapun model penilaian yang boleh digunakan oleh Penilai hanyalah model penilaian yang sudah teruji dan secara ekonometrika terbukti modelnya valid dan dapat digunakan. Tanpa didukung dengan adanya model penilaian, seringkali Penilai di dunia internasional tidak berani mengeluarkan opini nilai karena model penilaian merupakan representasi dari kondisi pasar. Sebagai bukti, dapat Penulis kutipkan pendapat Marcia Bowden dari Australian Property Institute yang mengemuka dalam Kongres Penilai Real Estate Pan Pacific ke 24 di Korea tahun 2008, terkait dengan penilaian Bangunan Ramah Lingkungan (Green Building) sebagai berikut :
“While there is support for the theories in “valuing green”, the current Australian market factors make the theories hard to prove…As the “green” buildings in Australia are only a few years old the issue of tenant retention is yet to come to the fore – it is likely to be some 5 plus years before this theory will be tested.”
Dengan kata lain, Marcia Bowden hingga saat ini belum bisa menilai dan membuktikan apakah bangunan ramah lingkungan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada bangunan konvensional karena belum ada data yang cukup untuk membuat model penilaian dan melakukan penelitian terkait dengan bangunan ramah lingkungan. Praktik seperti ini sudah menjadi hal yang sangat dianjurkan dalam melakukan penilaian di dunia internasional.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk menjaga agar Penilaian tetap dapat dipertanggungjawabkan kewajarannya adalah dengan melakukan standardisasi dalam hal penyesuaian nilai tanah. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengurangi terjadinya “guesstimate” yang dapat menimbulkan bias terhadap opini nilai yang dikeluarkan oleh seorang Penilai, seperti halnya yang terjadi dalam percakapan singkat di prolog tulisan ini. Sebagai contoh: dapat dibuatkan tabel penyesuaian yang diakibatkan oleh perbedaan lokasi objek penilaian dan objek pembanding dilihat dari jaraknya dengan jalan raya sebagai berikut :
Objek Penilaian dari Jalan Raya
Objek Pembanding 0 – 500 m >500 – 1000 m >1000 m
dari jalan raya
0 – 500 m dari jalan raya 0 s.d. - 5 % -5 s.d. -10 % -10 s.d. -15%
500 – 1000 m dari jalan raya 0 s.d. + 5% 0 s.d. - 5 % -5 s.d. -10 %
> 1000 m dari jalan raya + 5% s.d. +10% 0 s.d. +5% 0 s.d. - 5 %
Dengan adanya tabel penyesuaian seperti di atas maka bias-bias yang diakibatkan oleh penerapan angka penyesuaian yang berlebihan dapat dihindari. Selain itu, independensi dan judgment Penilai tetap diperhatikan dengan memberikan batasan (range) penyesuaian sehingga Penilai tetap memiliki kebebasan untuk menentukan angka penyesuaian yang paling tepat.
Untuk bisa menentukan tingkat penyesuaian dalam tabel tersebut diperlukan penelitian dan database penilaian yang baik sehingga validitas tabel tersebut dapat diuji secara ilmiah. Contoh tabel penyesuaian di atas juga harus disesuaikan dengan daerah masing-masing sehingga untuk tiap-tiap kota memiliki angka penyesuaian yang mungkin berbeda-beda.
* * * *
Bagaimana dengan penilaian di Indonesia? Penulis belum melakukan penelitian lebih lanjut mengenai apakah penilai di Indonesia menggunakan model penilaian atau tidak dalam melakukan penilaiannya. Namun, berdasarkan pengamatan penulis yang sangat terbatas, untuk lingkup DJKN hingga saat ini belum ada penilaian yang menggunakan model ekonometrika dalam penilaian properti. Demikian pula mengenai tabel penyesuaian nilai tanah yang hingga saat ini di DJKN masih belum terwujud. Hal ini, menurut hemat Penulis, lebih disebabkan oleh belum adanya database penilaian sebagai bahan dasar untuk melakukan penelitian sekaligus membuat model penilaian dan tabel penyesuaian dimaksud. Untuk itu, database penilaian harus diwujudkan terlebih dahulu apabila penilaian di DJKN tidak ingin sekadar disebut sebagai “guesstimate” alias tebak-tebakan.
========= OOO ==========
Referensi :
Bowden, Marcia. 2008. “Green Buildings”. The 24th Pan Pacific Congress of Real Estate Appraisers, Valuers and Counselors.
http:// www.merriam-webster.com
http:// www.harrodsestates.com
http:// www.wordnet.princeton.edu
By Muhamad Nahdi
October 2008
13 Oktober, 2008
Selamat Lebaran 1429 H
Meskipun sudah terlambat, tapi saya ingin mengucapkan selamat merayakan Idul Fitri 1429 H bagi yang merayakannya.
Keluarga saya sendiri di tahun ini tidak 'mudik' ke Cirebon dengan pertimbangan utama ketiga anak saya yang masih kecil-kecil (6 th, 2.5 th, dan 1 th) sehingga kalau diajak mudik ke Cirebon dikhawatirkan kondisi fisik mereka masih belum kuat. Apalagi, di musim pancaroba seperti ini. Dan ternyata terbukti dua hari setelah lebaran kemaren itu kita semua pada sakit flu dan pilek berat, termasuk saya dan istri. Jadi, nggak ke Cirebon aja kita udah pada 'tumbang'....
Masalah klasik lain yang selalu ada setiap tahun udah pasti masalah ketersediaan kendaraan. Sampai saat ini kan kita belum ada mobil sendiri jadi kalau ada keperluan harus nyewa mobil. Nah, tahu sendiri kan kalo nyewa mobil untuk lebaran itu biasanya per paket minimal 5 hari...padahal kondisi keuangan kita pas-pasan lah kalau harus nyewa sampai 5 hari. Biasanya kita nyewa mobil paling lama 1 X 24 jam aja he he...untuk keperluan jalan-jalan...Ya, doain aja deh mudah-mudahan akhir tahun ini kita udah punya mobil sendiri walaupun kalau digas bunyinya "kridit...kridit...kridit...", abis gimana yah...kayanya mobil nih untuk kita yang 'buntut'nya udah tiga jadi kebutuhan primer kalii...
Kalau Allah Swt meridhoi, akhir November ini saya akan membawa cerita menarik untuk temen-temen ya....
Keluarga saya sendiri di tahun ini tidak 'mudik' ke Cirebon dengan pertimbangan utama ketiga anak saya yang masih kecil-kecil (6 th, 2.5 th, dan 1 th) sehingga kalau diajak mudik ke Cirebon dikhawatirkan kondisi fisik mereka masih belum kuat. Apalagi, di musim pancaroba seperti ini. Dan ternyata terbukti dua hari setelah lebaran kemaren itu kita semua pada sakit flu dan pilek berat, termasuk saya dan istri. Jadi, nggak ke Cirebon aja kita udah pada 'tumbang'....
Masalah klasik lain yang selalu ada setiap tahun udah pasti masalah ketersediaan kendaraan. Sampai saat ini kan kita belum ada mobil sendiri jadi kalau ada keperluan harus nyewa mobil. Nah, tahu sendiri kan kalo nyewa mobil untuk lebaran itu biasanya per paket minimal 5 hari...padahal kondisi keuangan kita pas-pasan lah kalau harus nyewa sampai 5 hari. Biasanya kita nyewa mobil paling lama 1 X 24 jam aja he he...untuk keperluan jalan-jalan...Ya, doain aja deh mudah-mudahan akhir tahun ini kita udah punya mobil sendiri walaupun kalau digas bunyinya "kridit...kridit...kridit...", abis gimana yah...kayanya mobil nih untuk kita yang 'buntut'nya udah tiga jadi kebutuhan primer kalii...
Kalau Allah Swt meridhoi, akhir November ini saya akan membawa cerita menarik untuk temen-temen ya....
08 Agustus, 2008
08-08-08
Hari ini merupakan hari dengan tanggal yang unik yaitu: 08-08-08. Tanggal seperti ini hanya akan terulang 1000 tahun lagi yaitu tepatnya tanggal 08-08-3008....
Ngomong-ngomong tentang tanggal yang serba 8 ini, tadi pagi ada suatu kebetulan yang menyenangkan juga lho. Nggak biasanya saya merhatiin tiket KRL Depok Ekspres yang biasa saya naiki tiap pagi ke kantor, hari ini saya bener-bener iseng aja merhatiin tuh tiket....eh, ternyata nomor seri tiketnya bener-bener berbau angka 8 lho : AA6488 !! Bukankah 8 dikali 8 adalah 64...
Nih foto tiketnya...Ada-ada aja yah...
28 Juli, 2008
Neyra Masuk SD euy
Nggak terasa, Neyra udah masuk SD tahun ini. Ney diterima di SDPN Sabang, Bandung. Pada awalnya saya dan Yuli sempet khawatir juga kalau Ney nggak keterima di Sabang karena kita nggak ngedaftarin Ney ke SD yang lain. Pertimbangannya adalah SD Negeri yang paling dekat dan bagus dengan rumah kita di Antapani ya SD Sabang ini.
Satu hal yang sempat membuat kita khawatir apakah Ney bisa adaptasi atau tidak setelah dia masuk SD adalah mengenai JAM BANGUN TIDUR....Selama ini Ney selalu bangun kira-kira jam 7 pagi, padahal jemputan untuk SD udah stand by jam 6.30 pagi. Ternyata, semenjak masuk SD Ney bisa bangun jam 5.30 pagi....plong dah !! Senjatanya untuk Ney adalah disetelin TV. Senjata yang ampuh tapi sebenarnya saya pribadi kurang 'pas' karena kita udah tahu-lah yang namanya pengaruh TV buat anak. Mudah-mudahan ke depannya bisa ada 'senjata' lain....
Masih ada lagi satu kekhawatiran nih. Mengenai pola belajar, karena mulai SD kan udah mulai banyak PR....SD di Indonesia gitu lho...Mudah-mudahan aja Ney bisa beradaptasi mengenai pola belajar ini. Tapi, saya sih yakin bisa berubah. Yuli kan 'galak' ke Ney kalo udah masalah belajar.. he he...
Satu hal yang sempat membuat kita khawatir apakah Ney bisa adaptasi atau tidak setelah dia masuk SD adalah mengenai JAM BANGUN TIDUR....Selama ini Ney selalu bangun kira-kira jam 7 pagi, padahal jemputan untuk SD udah stand by jam 6.30 pagi. Ternyata, semenjak masuk SD Ney bisa bangun jam 5.30 pagi....plong dah !! Senjatanya untuk Ney adalah disetelin TV. Senjata yang ampuh tapi sebenarnya saya pribadi kurang 'pas' karena kita udah tahu-lah yang namanya pengaruh TV buat anak. Mudah-mudahan ke depannya bisa ada 'senjata' lain....
Masih ada lagi satu kekhawatiran nih. Mengenai pola belajar, karena mulai SD kan udah mulai banyak PR....SD di Indonesia gitu lho...Mudah-mudahan aja Ney bisa beradaptasi mengenai pola belajar ini. Tapi, saya sih yakin bisa berubah. Yuli kan 'galak' ke Ney kalo udah masalah belajar.. he he...
Langganan:
Postingan (Atom)